Sastra Untuk Silaturrahmi Antar Bangsa, Persaudaraan, dan Perdamaian ! Happy Reading !

Puisi-puisi Jang Sukmanbrata

0

 



CAKARAN CINTA 

 

begitu cakar cintaku menembus kulitmu

sebercak darah yang menyimpan racun rindu pun terseret keluar; sunyi berlagu

sorot mata kucing muncul di matamu

sedikit embun campur debu di alismu pun pupus 

Memetik gitar, lalu harmonika ditiup

 

begitu kepakan burung menjauh

cinta dan kepalsuan dibungkus 

Begitu aku masuk ke hatimu, 

cinta pun kuyup

aku pendaki gunung-pelintas desa

mengusir dingin, berapi unggun menggaruk udara bekumu, 

Menggesek biola, gendang ditabuh

 

Tatapan mata kucingmu hangus

 jadi abu di rumput, jadi daunan gugur, kukumpulkan untuk pupuk 

Seribu pohon kopi seribu pohon jeruk

pahit, asam manis di aliran darahmu

Rasa haru biru ini gegas dibunuh

Tembang megatruh disusul siulanku

Garis cakaran cintaku tembus batu:

Siapa abaikan tanah air, oh saru

 

 

/Pasir Kihiyang, 16 Mar. 2020

--------------------------

 



BUKU TUA WARISAN 

 

Selamat pagi! 

Selamat sore sampai selamat malam

 

Apa ujar Haji Rendra 

Dalam bayangan sayap burung merak cakrawala seperti tersibak pelan 

dan seorang menatap ke dalam dirinya adakah jendela rindu terkuat 

warisan bapaknya yang dicatat sekejap setiap saat dengan pena perak 

sapaan berulang setiap pagi; dimana dia yang pusaranya mewangi bunga 

dihantar udara, ciumannya 

harum kemenyan 

asap di balik hujan

ditawan kaca

 

Apa warisan Haji Rendra 

seperti usapan jari bapak di kepala 

dan ciuman di mata anak yatim papa

akan jadi rumah kenangan di hari tua

Cerita perjuangan selalu di beranda,

epilognya tak selesai di tangan kita

Ia geguritan dibawa angin pebukitan

Bahtera tangguh di mulut ombak,

istirahat di dermaga, tanda masih ada

Masih terbuka untuk dibaca

Sebuah buku besar penuh gambar 

mengajak bicara tatkala senyap, 

lembut, banjir perasaan 

Luapannya membuat malu purnama

 

 

/Cipayung, Nopember 2020 

------------------

 


MENTARI DI KULIT MANIS

 

 

betul, cinta jujur itu kurasa liat lentur waktu dibawa ke gelombang ombak atas batu karang, lorong rumput laut: 

diam pun bermadu, hidup bergaram

tak gentar saat guruh mengepung

Ya sehangat matahari pagi, lembut

dengan sahaja kuserap di rambut

kuajak rantau ke pesisir terpencil, 

suara laut pasang di ujung malam,

diungguli rintihan doa, oh nikmat

Bianglala berwarna di senyuman,

teduh matamu - jalan setapak desa 

aku lalai memindahkan wajah tirus

ke kanvas baru berwarna lebih putih 

dari kanvas pelukis klasik 

dan pelukis akademik di masa krisis

Tak usah ragu dan takut mengadu pembiaran hutan adat diganti kebun sawit 

tak menggeser patok-patok leluhur suci, 

toch tubuhmu melingkariku bak ular, ramah, pemurah, tak bersisik dan manis

apalagi gerimis diayunkan angin, pelangi menurun di antara bukit, lidahmu mengunci, 

tak segaris pun sepi 

Siutan angin teramat setia di ranting

Peluklah aku, dingin kan menyisih, 

dengan sukacita kematian kukenali

toch anak-anak bermain - bernyanyi

di tanah air

tengah ilalang kering

di hati bening

 

sekarang aku di ujung kilauan rambut

adakah kasih sayang seliat bambu 

rendaman lumpur, dan jadi teguh 

tak akan rapuh

juga pantang mengeluh:

Hidup adalah pembuatan buku,

: kemarilah sayang, lihat tanganku membentang dari barat ke timur jauh

Yup lipatan hening terbang di pohonMu

 

 

/bukit Ngamprah, 2 Juni 2022

---------------------------

 


SERAUT WAJAH 

 

 

Seraut wajah 

bisa disimpan di album,

bisa diselipkan ke buku, 

bisa disisipkan bawah tilepan baju,

Wajah itu tiba-tiba membayang, 

bergerak-gerak lembut di kacamata,

dilepaskan, wajah berpindah ke mata

tapi bisa di tutup dua telapak tangan

Bersikeras maksa, mengetuk jendela 

merendamkan muka di bak mandi, 

sekejap hilang dikedip-kedip.

 

Namun kerinduan datang diam diam, 

seraut wajah mengetuk-ngetuk benak selembut sayap angsa, 

Pergi ke kolam renang, 

masuk tenggelam sampai mata merah, 

tapi wajah itu membayang, 

terapung-apung di muka air kolam.

 

Wajah tetap tak kunjung menghilang, 

lalu pergi ke danau,

mata disibukkan memandang nelayan, perahu yang bolak balik bawa harapan

wajah melayang-layang di angin kacau,

Indahnya danau tak kuasa menghalau!

 

Ya terpaksa berlari di trotoar jalan 

biar sibuk melirik kiri kanan, 

depan belakang, 

sampai kuyup keringat, 

kaki lelah, badan payah, 

dan tak terasa menutup mata.

-- Selamat tinggal mantan tak setia!

 

 

/Sumedang, 2 Oktober 2022

----------------------



CINTA MAUT

 

 

Mengapa berada di teras setiap hari,

mengeringkan rambut ikal mayang, 

sorot matamu menembus hati,

aku silau, o kaca kena surya, 

Kemarilah pujaan alam!

 

Disinari mentari,

senyuman manis sulit dilukis

pudarkan mimpi yang berkabut tipis, 

saatnya nanti semua berakhir di bumi, 

pandang dulu aku! Rengkuh diriku ini, bawa ke kedalaman paling suci hening,

Lepas dunia maya, keluar dari daging

bahwa prinsip lebih berarti dari berahi,

Kemarilah dambaan lelaki sejati!

 

Ambil mimpi ini, cuci bersih di hatimu,

dan keringkan rambut panjang liarku,

Sehalus lumut

batu purba pun tunduk

Oh, mati kutu ragaku dililit lengan lembut, sukma menggelinjang depan tungkumu,

Cairlah darah, jadi sungai beriak merdu.

 

Bukit Padalarang, 13 Oktober 2022

-----------------

 


SENGKUNI KINI

 

 

Takut melihat diri,

pohonan dan jalanan sepi, 

cermin kamar ditutup kain kuning,

semua yang menyala disebutnya api;

"Kemana itu cahaya pergi?, cacat kakiku abadi"

Ara tak berbuah itu pohon di jiwanya,

merangggas dan cemas di Kurusetra, daunannya berguguran, mainan angan

dihempas-hempas angin kota bertuba

Tak seorang pun tahu hancurnya dimana, bicara pada senyap pun megap megap,

masuk digital, hasutannya beranak pinak

 

Tak punya kitab hati, Sengkuni lirih,

"Takut mengaji, tulisanku tinta karat besi. Jangan pakai dengki, itu selendangku"

Musim menitipkan irinya ke angin lalu

 

Tak mampu sembunyi, Sengkuni lari

Bratasena membunuhnya berkali-kali:

"Kamu kuberikan pada Agni"

Kemudian medan perang dilipat sendiri

 

 

/Tegal Lega, 17 Feb.2023

-----------------------

 


TAK SUKA BERCANDA 

 

 

Saya tak mau bercanda 

karena suka gugup jika dibalas;

bayangan kematian mendadak tertawa

 

Saya tak bisa menggoda 

sebab suka dipermalukan keadaan;

teringat senyap suka mendadak ganas

 

Saya tak bisa mencela 

takut kena giliran direndahkan;

terlihat pencela dicabik cabik kegelapan

 

Saya tak mau banyak tertawa

karena hati bisa mengeras;

terbayang malakal maut tiba-tiba garang

 

Saya kemas itu rumah, vihara, pura, gereja, masjid, kelenteng, balè kabuyutan hasil keringat persaudaraan lalu saya masukan ke aliran darah ke dalam dada.

Saya berkata lembut pada semua bangunan ritual yang menjulang anggun di mata dan di kepala, ruang baca akar budaya pun betah berdamai di urat jiwa, 

"Lestari, berkembanglah dan jayalah kalian di dalam. Jika kalian hendak keluar, minta restu padaku dan kerelaan sang Surya kalian sandangkan. Tapi sebentar saja".

Bangunan bangunan di dalam saya berkata, "Baik tuanku, namun kami tak suka bercanda dan diajak menghina"

(Di tengah fatamorgana daun pun gelap)

 

 

/Jambudipa Lembang, 2 Feb.2023

--------------------

 

 

WAHYU SULAIMAN RENDRA

 


Masa remajamu pacar Surakarta

Masa pemuda dan separuh bayamu kekasih idaman Yogyakarta 

Pasir putih pantai Parangtritis terbawa sepanjang tanah Jawa - Sunda Pakuan, tak menyisakan penasaran, 

sebab hidup dramatisnya padat merayap nyali kesenimanannya kenangan perkasa

Kau Rangga saksi di semua zaman edan 

: Jangan anggap kebenaran itu gula gula

 

Masa tuamu begawan idaman Indonesia

Sajak-sajakmu dibaca semua orang 

dari pecinta sampai penipu wanita, dipanggungkan golongan ksatria

: Tak terhalangi laut dan rimba

 

Rakyat sekarang tanpa juru bicara indah

Kami merindukanmu, selalu berziarah 

dengan bunga setaman tujuh warna dukamu tentu sudah mati di tanah

: Tanyakan penyair mana yang bahagia

 

Memulyakanmu itu lewat membunuh agar lahirkan puisi baru, balada tangguh

karena engkau penyair Rangga Sanjaya

 

Rakyat kini bertempur banyak bujukan, rebutan bangun ibukota, lepas impian

Begawan, tak di jomantara tak di awan,

Duhai, itulah Rendra !

,

 

/Cipayung - Bandung, 23 Feb.2023

-------------------------------------


TENTANG PENULIS

JANG SUKMANBRATA

Lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Karyanya dulu tahun 1980an semata puisi lirik bebas, kini banyak menulis puisi beragam genre; lirik, balada, tanka dan haiku dalam 2 bahasa: bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Puisinya tersebar di buku antologi puisi Negeri Pesisiran, Negeri Rantau; DNP 2019 - 2020, Raja Kelana DNP 2022, buku Antologi Puisi HPI 2021 & 2023, buku Antologi Puisi Para Penyintas Makna & Antologi Larung Sastra - Dapur Sastra Jakarta th.2021 & 2023, di beberapa buku antologi lainnya, 30 haiku-dan puisinya di koran PosBali, Nusabali, Bali Pos, Pikiran Rakyat, Bernas, Masa Kini, KR Yogya, Mjl.Basis dan medcet lainnya di seluruh Indonesia. Puisi tanka dan haiku-nya di setiap buku Antologi Newhaiku - KKK, di SKSP Literary,  mjl.Elipsis, Balipolitika, Tatkala, IdeSastra, Semesta Seni, SastraMedia.com, HOMAGI International,  berbagai majalah digital - internet - blog, FB dan IG.
Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Post a Comment
To Top